Kupu-kupu Bersayap Mawar
SEORANG lelaki bertubuh liat, sedang bersedih di kedainya yang
lengang, duduk di kursi paling pojok. Matanya memandang sayu pada
semburat matahari senja yang bersilangan dari arah barat. Di hadapannya,
segelas kopi hangat mengepulkan uap sedap, berbaur dengan asap rokok
yang nyaris memuntung di sela-sela jemarinya. Sesekali, ia menghisap
dalam-dalam asap rokoknya, lalu menghempaskan nafasnya seperti ingin
membebaskan beban dari dadanya.
“Masih terkenang juga padanya, Bang?” Soada Ria, gadis cantik
pelayan kedai menghampirinya. Ia melirik sekilas-lewat pada gadis itu,
lalu kembali menatap matahari. Ia mendesah.
“Tahukah kau seberapa sakit rasa kehilangan?” katanya kepada
gadis itu, tanpa menoleh. Ia melakukan hisapan terakhir pada rokoknya,
dan melemparkan puntung rokoknya ke halaman, lalu menyalakan lagi batang
yang baru.
Soada Ria, gadis bertubuh kecil dan berambut panjang itu, menepuk
pundaknya dengan sangat lembut, seperti tahu bahwa obat menyembuhkan
kesedihan adalah kasih sayang. “Kehilangan,” katanya bergetar, “Adalah
milik semua orang. Hidupku berwarna justru karena kehilangan demi
kehilangan.”
Lelaki itu menatapnya, “Kupu-kupuku pernah berkata begitu,” katanya, “Kau membuatku makin sedih.”
Soada Ria, gadis bermata telaga itu tak tahan memandang mata
sedih lelaki itu. “Maafkan aku, Bang,” katanya, berlalu meninggalkan
lelaki itu. Dan ia tidak tahu, Soada Ria menangis di bilik kedai.
Lelaki itu kembali larut, hanyut diseret ingatan, terkenang pada
saat pertama kali bertemu dan menangkap kupu-kupunya. Persis pada saat
senja seperti sekarang. Waktu itu, ia sedang asyik menghitung lembaran
uang kertas yang menebal di kantongnya, uang yang diperolehnya dari judi
togel. Ya, empat angka yang ditebaknya tembus sebanyak sepuluh lembar.
Ia lalu mengajak teman-temannya sesama kuli berpesta, mabuk,
bersenang-senang, berjalan-jalan di seluruh bandar sambil berteriak,
“Hidup lelaki kuli! Hidup judi! Sejarah kuli tetap pedih, hanya layak
jadi pemimpi, penjudi.”
Seusai pesta yang mirip unjuk rasa itu, ia melunasi utang-utang
yang menumpuk di banyak kedai, tapi uang yang tersisa masih tetap cukup
banyak. Sisa uang itulah yang dihitung-hitungnya pada senja itu, ketika
ia merenung hendak dikemanakan uang itu. Dan ketika ia berpikir apakah
ia akan bersenang-senang dengan seorang pelacur, seekor kupu-kupu muncul
menghampirinya.
“Dapat rejeki ni yeee, bagi dong,” kata kupu-kupu. Ia tersentak.
Ia menyerbu sekeliling dengan matanya kalau-kalau seseorang sedang
berada di dekatnya. Tapi, tidak ada sesiapa pun selain kupu-kupu itu. Ia
berpikir, ini pasti halusinasi. Bagaimana mungkin kupu-kupu bisa
bicara? Ia lalu sadar bahwa sudah dua hari dua malam ia tidak tidur
karena asyik bersenang-senang. Maka yakinlah ia bahwa kupu-kupu yang
bicara itu hanya halusinasi.
Tapi ia terkejut ketika didengarnya lagi sebuah suara, “Sombong sekali Anda, Tuan?”
Ia menoleh ke arah kupu-kupu, dan ia melihat seorang gadis cantik, tersenyum, berdiri di hadapannya.
Busyet, otakku tak beres, pikirnya.
“Yah, aku memang kupu-kupu. Lihat, sayapku sangat indah,” kata
perempuan itu mengepak-ngepakkan sayapnya, seperti tahu pikiran lelaki
itu. Ia melihat perempuan itu berubah jadi peri, dan sayapnya mengembang
seperti mawar raksasa. Aroma mawar meruap dari kibasannya.
“Lihat, aku juga bisa terbang,” kata perempuan itu lagi sambil
terbang berkitar-kitar di sekitar taman. Lalu, lelaki itu melihat mahluk
di hadapannya berubah-ubah wujud mulai dari kupu-kupu, peri, perempuan
cantik, lalu kembali lagi jadi kupu-kupu, peri, perempuan cantik dan
seterusnya. Ia terpesona. Ia bergetar.
“Kau sangat indah. Sudikah kau menemaniku malam ini?” katanya kepada kupu-kupu.
“Bukan hanya malam ini, aku bersedia menemanimu kapan pun,” kata peri.
“Tapi aku hanya kuli.”
“Juga penjudi.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari mana lelaki kuli bisa mendapat uang sebanyak itu jika tidak dari berjudi?”
Mereka berdua tertawa. Orang-orang memandang tak senang. Bahkan,
seorang lelaki tua malah berkata, “Tak tahu adat. Tahukah kalian, tawa
kalian terdengar ke seluruh kota .”
Mereka tertawa lagi. “Tak tahu adat?” kata mereka berpandangan,
“Tahu adatkah dia yang sudah tua bangka tapi masih keluyuran di tempat
seperti ini?”
Mereka lalu bergegas dari tempat itu, berjalan menyusuri senja,
bergandengan tangan di jalan yang dihimpit gedung-gedung tua,
kelelawar-kelelawar berlintasan di udara yang pengap oleh asin laut, dan
di bibir mereka terkulum senyum bahagia.
Dari sebuah persimpangan, mereka memasuki gang sempit becek,
bocah-bocah pengemis melantunkan syair sambil memukul kaleng-kaleng
bekas, lelaki-lelaki tak berduit duduk di teras mengenakan sarung yang
meruapkan apak nasib, perempuan-perempuan tua menimbun kedamaian dalam
khayalan.
“Petang ini usang benar,” kata lelaki itu.
Perempuan itu terkejut. “Kata-katamu seperti puisi,” katanya.
“Aku memang suka puisi.”
“Jika begitu,” kata perempuan itu setelah mereka tiba di sebuah
rumah petak yang dindingnya ditumbuhi lumut, “Kita akan berpesta puisi
malam ini.”
Lelaki itu takjub. Di kamar perempuan itu terdapat sebuah rak
yang di dalamnya tersusun rapi banyak buku. “Wah, kau mengingatkan aku
pada masa-masa sekolah dulu,” katanya sambil mengambil sebuah buku dari
rak: Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Lalu diperhatikannya
buku-buku yang lain, dan ia sangat akrab dengan beberapa nama: Chairil
Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang…
“Sudahlah,” kata perempuan itu mengganggu keasyikannya, “Lupakan
buku-buku itu. Itu adalah sisa kenakalanku pada masa kanak-kanak. Semua
buku itu kucuri dari perpustakaan sekolah. Sekarang, mari kita berpesta,
berpesta puisi.” Perempuan itu melepas pakaiannya, lalu berubah wujud
jadi kupu-kupu. “Ayo, naiklah ke punggungku, kita akan terbang.”
Lelaki itu naik ke punggung kupu-kupu, memeluk tubuhnya erat agar
tidak terjatuh. Mereka terbang. “Apa yang kau rasakan dari deru angin
ini,” tanya perempuan itu ketika mereka mengarungi angkasa.
“Gairah hidup, surga yang kuangan-angankan ketika aku masih remaja dan jatuh cinta pada putri seorang penyair.”
“Apa yang kau rasakan ketika merasakan kepakan sayapku?”
“Aroma rumput basah.”
Tiba-tiba kuku-kupu itu menukik, “Kita sedang melintas di atas hamparan padang rumput yang luas. Kita singgah dulu,” katanya.
Mereka bergulingan di padang, pendaratan yang dilakukan kupu-kupu
tidak sempurna, “Kau sih, memeluk sayapku terlalu kuat,” katanya
menyalahkan lelaki itu. Dengan tubuh yang berhimpitan, mereka
berdekapan, saling menggali sesuatu di dalam tubuh masing-masing. Aroma
mawar dari sayap kupu-kupu itu membuat birahi lelaki itu menggelegak.
“Ayo sayang, gumamkanlah puisi untuk getar ini,” kupu-kupu merintih.
“Kukayuh jiwa menyusuri luka nasibmu. Kucecap segala derita yang
melekat di tubuhmu. Di gubuk ini, kita adalah orang terbuang yang tak
pernah percaya pada takdir, meski cinta selalu mengajari kita memahami
maknanya,” gumam lelaki itu.
Lalu, ada yang terasa tuntas. Ada yang terasa terbebaskan. Lelaki itu menangis.
“Kenapa?”
“Aku terkenang petang rembang di kampungku. Pada waktu
kanak-kanak, aku sering menikmati senja sambil bermain dengan deburan
ombak. Tubuhmu mengembalikan semua ingatan. Tubuhmu menyentakkan sadarku
bahwa ada petang yang hilang dari ingatanku. Terimakasih, sayang. Aku
mencintaimu.”
Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnya. “Ayo, tidurlah dalam pelukanku. Sayapku akan menghangatkan hatimu.”
Maka tidurlah sepasang kupu-kupu di padang beraroma rumput. Lelaki itu tidak tahu bahwa ia sudah menjelma jadi kupu-kupu jantan.
Tak berapa lama kemudian, sepasang kupu-kupu itu menikah. Mereka
membangun kedai tempat para lelaki kuli minum kopi, main domino, juga
berjudi. Mungkin, karena aroma sayap kupu-kupu betina itu selalu
meruapkan mawar, lelaki-lelaki kuli berdatangan ke kedai itu. Kedai itu
menjadi primadona. Dan, karena sepasang kupu-kupu itu mulai kewalahan
melayani para lelaki kuli yang datang untuk minum kopi, berjudi, dan
menyantap mie rebus atau goreng, mereka kemudian mempekerjakan seekor
kupu-kupu indah yang lain di kedai mereka. Dan kedai itu makin ramai
saja. Sepasang kupu-kupu pemiliknya makin jaya. Tapi, luka itu tiba-tiba
datang. Kupu-kupu betina pergi menghadap sang khalik. Dan virus
herpeslah yang merenggut nyawanya.
Tetapi, kupu-kupu jantan tidak tahu apa yang terjadi antara
istrinya dengan gadis pelayan kedai. “Soa,” kata kupu-kupu betina itu
kepada pelayan kedainya, “Aku melihat sinar cerah di matamu setiap kali
kau memandang suamiku.”
Gadis bermata telaga itu terkejut, merasa seperti kepergok sedang
bersetubuh dengan lelaki. “Tidak, itu tidak benar,” katanya. Dan
majikannya menangis. “Jangan bohong. Aku tahu kau mencintai suamiku. Dan
aku bersuyur untuk itu. Lelaki sebaik itu tak pantas disia-siakan.
Ayolah Soa, rawatlah cintamu untuknya, sebab kelak kaulah yang akan
merawatnya. Aku merasa ajalku sudah dekat. Lihatlah, aku sekarang
sakit-sakitan, tubuhku selalu lemas, perutku sering mulas dan melilit,
susah bernafas, sakit pinggang. Aku pasti akan mati. Kelaminku juga
sudah rusak. Kau tahu, sudah setahun ia tak bersetubuh denganku. Aku
tidak mau dia pergi lagi mencari kupu-kupu lain. Kaulah saat ini yang
harus bisa jadi kupu-kupu baginya.”
Mereka berdua menangis. Majikan karena lukanya. Pelayan karena
tak tahu harus bersyukur atau tidak. Sebab ia memang sudah sejak lama
mencintai tuannya.
***
Suatu hari, berbincang-bincanglah Soada Ria dengan majikan
perempuannya, “Aku kehilangan seluruh keluargaku. Dulu, ayah dan ibuku
punya tanah yang luas. Tapi sejak perampok itu datang dan membangun
perusahaaan raksasa di kampung kami, segalanya kemudian habis. Ayahku
bukan orang bodoh yang dengan mudah mau menyerahkan tanah kami berikut
kayu-kayunya kepada perampok itu. Tapi sikap ayah itu membawa maut. Ia
kemudian tewas ketika berhadapan secara frontal dengan orang-orang
perusahaan. Mereka memberi ganti rugi atas tanah-tanah kami, tapi ibuku
menolak. Ibu membakar uang itu di hadapan mereka. Tak lama kemudian,
ibuku sakit, dan meninggal. Aku dan adikku terlontang-lantung sejak itu.
Dalam usia yang masih sangat belia, kami merantau ke kota. Aku di
bandar ini, adikku di bandar lain. Sungguh, tak pernah terpikirkan
olehku untuk memasrahkan diri jadi pelacur, tapi demi kelangsungan hidup
dan pendidikan adik-adikku, aku terpaksa melakukannya. Sekarang aku
bersyukur adik-adikku sudah bisa menghidupi diri dengan bekal ilmu yang
mereka dapat. Tapi aku selalu sedih, sejak mereka tahu bahwa pekerjaanku
adalah melacur, mereka tak sudi lagi menerimaku sebagai kakak, sebagai
orang yang berjuang mati-matian membiayai mereka. Terimakasih telah
menyelamatkanku dari pekerjaan nista itu, dan mempekerjakan aku di kedai
ini.”
Mendengar penuturan itu, kupu-kupu betina trenyuh, airmata
menetes di pipinya. Ia merasa bertemu dengan teman senasib. Ia juga
tidak tahu bagaimana kilang-kilang, pompa angguk dan pipa-pipa itu
tiba-tiba menjulur seperti ular, memanjang dan melilit kampung, hingga
akhirnya mereka menyingkir. Ia sedih mengenang kematian ayahnya yang
misterius karena selalu bertentangan dengan kepala desa yang ingin
menjual tanah mereka kepada kapitalis-kapitalis jahat. Ia tidak tahan
mengingat perjuangan ibunya setelah itu, hingga akhirnya meninggal
didera penyakit. Semua ingatan itu hadir seperti setan-setan seram dalam
mimpi buruk. Lalu, semuanya memang begitu gampang lepas, terbang tanpa
bekas, seolah-olah segala sesuatu telah berlangsung dengan sempurna.
Demi pembangunan. Demi kemaslahatan orang banyak. Dan, jika di
sudut-sudut hutan dan kampung ratapan-ratapan sebenarnya masih terus
menggema, anggaplah itu suara-suara binatang. Dan jika orang-orang
tempatan terusir dan harus menjadi pelacur, kuli dan pengemis di tanah
sendiri, anggaplah itu sejarah sukses dari sebuah bangsa yang biadab.
Sebab segalanya telah berlangsung dengan sempurna, igauan dan keluhan
tiada guna.
Dan kupu-kupu yang terusir dari habitatnya itu terus saja
meneteskan airmata. “Soa, akan bergerak ke mana sejarah ini? Nyatanya
kita perempuanlah yang selalu jadi korban. Kita sering punya kemampuan,
punya potensi, tapi selalu menjadi bulan-bulanan jaman. Kau lihat, di
mana-mana di seluruh dunia perempuan yang paling menderita, mereka
dieksploitasi, direndahkan martabatnya, dilecehkan kemanusiaannya. Untuk
itu, jika nanti aku mati, jangan kembali lagi ke jalan itu, rawatlah
kedai kita ini, cintai suamiku sepenuh hatimu.”
Itulah kalimat terakhir yang meluncur dari mulut kupu-kupu,
ketika ia terbang untuk tak kembali. Dan Soada Ria, gadis pelayan kedai
yang cantik itu terus saja mengenang majikannya, juga pesannya untuk
merawat lelaki itu. Ya, aku harus merawatnya, pikirnya. Ia keluar dari
bilik kedai, berjalan dengan langkah lambat, menghampiri lelaki yang
sedang bersedih di kursi di pojok kedai.
“Abang harus melupakannya,” katanya menepuk pundak lelaki itu,
“Lihatlah, sejak kakak pergi sebulan lalu, Abang terus-terus saja
begini. Orang-orang takut melihat Abang. Lihat, kedai kita selalu sepi
karena tingkah Abang.”
Lelaki itu menatapnya, “Ini kali kedua kau berkata persis seperti
kupu-kupuku. Dulu ia berkata seperti itu karena aku suka mabuk. Soa, ke
sinilah,” katanya merengkuh gadis itu dalam dekapannya, “Kau seperti
istriku. Mulai saat ini, rawatlah kedai kita. Ini satu-satunya milik dan
alat kita mempertahankan hidup dari kepedihan.”
Tiba-tiba lelaki dan gadis pelayan itu berubah jadi sepasang
kupu-kupu. Dari punggung mereka terkembang sayap berbentuk mawar
raksasa. Mereka terbang mengarungi angkasa dan hinggap di sebuah taman
penuh mawar. Mereka bersidekap, mendesahkan luka, memaknai hidup yang
masih terus akan berlangsung.
***