Gerimis Menghasut Kenangan
Cerita Pendek M. Arman AZTIDAKKAH rintik hujan yang turun hampir setiap senja menggodamu untuk membongkar semua kenangan yang telah kau timbun dalam kubur waktu?
Ia menyodorkan sebuah plastik transparan berbentuk persegi panjang. Aku sempat terkesiap melihat isinya. Ragu-ragu kuraih benda itu. Kuamati dengan saksama. Sempat pula kubolak-balik dan kuremas-remas sekadar ingin melunasi rasa penasaran. Membayangkan jika gumpalan hitam itu memang benar-benar asli, aku jadi risi. Buru-buru kukembalikan plastik itu. Ada senyum tersungging di bibirnya. Aku tersenyum kecut.
"Bagaimana?! Masih belum yakin kalau ini potongan rambutku?" tanyanya sembari memasukkan kembali plastik itu ke dalam tas kerja merah jambu yang rebah di antara kedua pahanya.
Aku tak gampang percaya pada omongan orang lain jika tak ada buktinya. Bahkan, meski ia baru saja menunjukkan potongan rambutnya pun, aku masih saja ragu. Kupikir, bisa jadi gumpalan rambut dalam plastik itu adalah wig yang digunting lalu diperlihatkannya kepadaku. Tapi, kupikir, ia bukan tipe wanita yang mau buang-buang waktu untuk melakukan hal bodoh semacam itu. Maka kupilih bungkam, tak menanggapi pertanyaannya.
Suatu senja di awal Desember. Gerimis panjang belum juga berhenti. Siang tadi, lewat SMS, ia mengajakku main biliar di sebuah mal di pusat kota. Hari-hari belakangan, langit selalu dirundung mendung. Aku sempat ragu sebelum menyanggupi ajakannya. Nyatanya cuaca buruk tak mampu merintangi janji yang telah kami sepakati. Setelah semua tugas kantornya selesai, ia langsung menuju toko buku tempat kami janji bertemu.
Langit senja terasa lebih pekat kala hujan. Udara makin dingin karena dia enggan mematikan AC mobil. Dari balik kaca mobil yang dihiasi percik-percik air, kulihat orang-orang berteduh mematung di emperan toko atau di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. Air hujan meluap sampai ke jalan. Warnanya cokelat keruh. Dia mengemudikan mobilnya perlahan saja. Kami terpesona memandangi gerimis yang tampak indah terbiaskan lampu jalan, lampu kendaraan, dan kerlap-kerlip neon reklame. Kami singgah sebentar di sebuah masjid megah di tengah kota .
"Sampai sekarang aku nggak bisa lupa mimik wajah pegawai salon itu." Usai menunaikan salat magrib, perjalanan kami lanjutkan. "Waktu aku minta agar potongan rambutku dikumpulkan, lewat pantulan cermin kulihat dia bengong seperti habis ditampar setan," sambungnya sambil terkekeh-kekeh.
"Lantas, untuk apa kau simpan potongan rambutmu?"
Ia sempat diam sejenak sebelum berkata, "Yeah, untuk mengingatkanku pada kepahitan-kepahitan hidup...."
Kulirik wajahnya sekilas. Suaranya datar dan tak kudapati ekspresi apa pun di wajahnya. Aku meringis membayangkan apa yang berkelindan dalam benaknya sesaat sebelum ia ucapkan kalimat itu. Tentu saja setiap orang pernah mengalami masa-masa pahit dalam hidupnya. Tapi menyimpan potongan rambut sebagai kenangan atas kepahitan-kepahitan hidup? Ah, kadang hidup ini aneh dan sulit dimengerti.
Kukenal Esi tujuh tahun lalu ketika kami masih sama-sama kuliah. Waktu ia, ia kerap mengeluh karena pacarnya--teman kuliah juga--tipe lelaki yang suka memelihara cemburu. Rasa memiliki yang kelewat berlebihan kadangkala menjengkelkan. Begitu selesai kuliah, kami pun hilang kontak. Tenggelam dalam dunia masing-masing. Orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kita. Bukankah itu hal yang biasa?
Lebaran lalu Esi menjelma lagi di depan mata. Entah angin apa yang menghasutnya untuk bertandang ke rumah. Empat tahun tak bersua, aku sempat pangling melihatnya. Rambut Esi yang dulu panjang sebahu, kini pendek. Tutur kata dan bahasa tubuhnya pun tampak lebih dewasa.
Dia merangkai cerita dan aku memasang telinga lebar-lebar. Ia bercerita bahwa pacarnya selingkuh. Aku tak kaget lagi mendengarnya. Itu bukan cerita baru. Setelah mantan pacarnya menikah, ia terbang ke Jakarta. Mukanya bersemu waktu kuledek bahwa dia pergi untuk melupakan kenangan pahit. Dua tahun bekerja di sana, rupanya Esi tak kerasan. Dia rindu Kota Tapis. Rindu rumah dan orang-orang yang ia sayangi. Ya, ya, rindu adalah rasa sakit yang paling indah. Sekarang sudah setengah tahun lebih dia pulang dan bekerja di sebuah perusahaan leasing .
****
Aku melangkah masuk dan mendapati ruangan tak seberapa luas itu nyaris dipenuhi manusia. Berpasang-pasangan, bersama keluarga atau teman sebaya. Suasana riuh. Kucari tempat yang masih tersisa. Aha, di pojok ruangan dekat pintu masuk ada bangku kosong. Letaknya persis menghadap jalan raya. Kupikir tempat itu cukup nyaman untuk orang yang datang sendirian. Aku bergegas ke sana setelah menepuk bahu seorang pelayan dan memesan semangkuk bakso plus teh botol.
Meja dan bangku yang kududuki bentuknya memanjang. Warnanya pun senada. Persis di sebelah kananku, seorang remaja putri duduk berhadapan dengan dua temannya. Tiga mawar yang menunggu musim semi tiba itu masih mengenakan seragam sekolah. Mungkin baru pulang kursus. Tak sengaja telingaku menangkap percakapan mereka tentang film bioskop, pulsa handphone yang sekarat, mode pakaian terbaru, dan gebyar diskon akhir tahun. Aku tersenyum kecut ketika gadis di sampingku menggerutu karena hujan belum juga reda.
Ah, kenapa hujan kerap dimaknai sebagai aral, ketimbang percaya bahwa lengkung pelangi yang kelak jatuh di kotamu begitu penuh pukau?
Aku mengunyah kesunyian di warung bakso ini. Mengurai sepi di tengah keramaian. Tiga orang pelayan tampak kewalahan meladeni pembeli yang berjubel dan semuanya ingin cepat dilayani. Aku tak risau meski pesananku terlambat diantar. Aku tidak sedang dan paling anti dikejar waktu. Apa yang membawaku singgah dan ingin berlama-lama di tempat ini adalah tips yang dianjurkan seorang rekan dalam tulisannya. Dia bilang ada beberapa tips melawan lupa. Dua di antaranya adalah mengingat setiap nama yang berhubungan dengan kenangan, dan datangilah tempat-tempat rendezvous yang bisa menyegarkan ingatan terhadap suka atau pengkhianatan yang melukai. Aku suka dengan tips sederhana itu dan kurasa tak perlu membantahnya lagi.
Kuambil sebuah buku kumpulan puisi yang selalu kusimpan dalam ransel. Kusibak halaman demi halamannya secara acak.
Bila hujan kembali turun siang ini, siapkan mantel sebelum kau berangkat untuk kemudian melupakan rumah ini. Simpanlah di dalam tubuhmu dan kenanglah aku yang mengingatkanmu.
Aku termangu. Hujan masih berdenting di luar sana . Sesekali tempiasnya singgah di kulit tangan dan pelipis, tapi tak sampai ke dalam hati. Jalanan basah. Daun-daun kuyup. Genangan lumpur di tepi jalan. Batang pohon dan tiang listrik menggigil kedinginan. Roda-roda kendaraan menyibak gerimis. Meninggalkan desis panjang dan lirih.
Nothing special for me in December. Masih tersimpan pesan singkat itu dalam ponselku. Esi mengirimnya beberapa hari lalu waktu kutanya pendapatnya tentang hujan yang turun nyaris setiap senja di bulan Desember. Aku tersenyum kecut mengingat kalimat itu. Tidakkah ia rasakan Desember begitu cepat datang dan berlalu? Tidakkah rintik hujan sampai di hatinya serupa nyanyian pilu?
Baru beberapa detik kugenggam teh botol ketika tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Aku menghela napas. Esi, Esi. Teknologi memang telah mengubah segalanya. Meski baru beberapa kali bertemu, pesan-pesan singkat cukup membuat kami merasa dekat. Esi mengabarkan bahwa ia masih terperangkap di ruang kantornya. Menyelesaikan pekerjaan sambil menunggu hujan reda. Dia pasti sedang jenuh dengan rutinitas.
"Aku ingin main atau kumpul lagi dengan teman-teman. Seperti dulu. Ternyata nggak enak ya kalo sendirian," keluh Esi dalam pesan berikutnya. Setelah berfikir sejenak, iseng-iseng kusuruh dia menyisihkan waktu untuk mematung di tepi jendela. Menekuri cuaca yang sedang berkabung itu. Dia bisa leluasa membongkar-bongkar kenangan silam. Tentang apa saja. Mungkin tentang masa lalu yang makin menjauh, tentang lelaki-lelaki yang ia cintai namun tak bisa ia miliki, atau tentang jejaknya yang tertinggal di kota-kota yang pernah ia singgahi. Sayang, aku lupa bahwa lain padang lain belalang. Esi bukan tipe wanita yang betah mengukur jarak sepi. "Justru itu aku selalu mencari kesibukan biar nggak merasa kesepian dan jenuh. Main biliar, berjam-jam di warnet, menelepon teman lama, atau makan mie khodon dekat Taman Dipangga. Ya, begitulah hidup. Berbagai masalah harus dihadapi dan kita mesti cari solusi yang terbaik," begitu pesan terakhirnya sebelum baterai ponselku habis.
Gerimis dan kesepian datang membawa notasi-notasi kenangan. Aku jadi tak punya nyali untuk bercerita lebih banyak pada Esi tentang malam-malam larut, hening yang maut, dan cinta yang ngelangut . Meski ada yang mekar diam-diam di tanah basah ini, aku percaya tak semua tanya butuh jawaban. Realisasi perjalanan sebuah doa kadang tak bisa dipahami dengan akal sehat atau logika. Sebagaimana yang kukatakan, Esi pun sepakat kota ini sudah terlalu riuh dan pelik untuk dipahami. Maka biarlah semua mengalir bersama guguran angka-angka di kalender. Biarlah orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kita. Bukankah itu hal yang biasa?
***
Di Kota Tapis, gerimis turun begitu liris. Mungkin di suatu tempat, seseorang tengah merangkai puisi romantis. Benarlah kata Si Binatang Jalang itu, bahwa gerimis mempercepat kelam. Aku berteduh di sebuah cafe ditemani segelas kopi panas. Uapnya mengepul lalu raib dalam udara. Kusapa seorang pelayan lelaki. Kusodorkan sebuah kaset kepadanya dan minta diputarkan sebuah tembang. Mungkin, mimik pelayan itu mirip mimik pegawai salon tempat Esi minta potongan rambutnya di kumpulkan. Seperti baru saja di tampar setan. Ah, mungkin dia belum sadar bahwa menganggap remeh hal-hal yang sepele adalah kesalahan besar.
Begitulah. Selang beberapa menit kemudian terdengar "A Long December" mengalun, membakar hawa dingin. Dalam cuaca begini muram, tak ada hal menarik yang ingin kulakukan selain mengingat. Bukankah masa lalu dan kenangan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan kini dan nanti?
Usai gerimis, kota ini akan kembali riuh. Aku ingin menyusuri ruas-ruas jalannya. Menyaksikan hal-hal sepele seperti jalanan basah, kaca berembun, sepasang kakek nenek duduk di kursi goyang sembari menghitung angka-angka di kalender, penjual terompet yang berjejer sepanjang jalan, jingkat langkah orang-orang menghindari genangan air, atau perempuan berpayung pelangi.
Dan, mungkin, ketika gerimis itu benar-benar usai, akan kusambangi sebuah pintu yang sudah lama tertutup rapat. Pintu yang meneteskan air mata sejak kutinggalkan. Apa kabarnya perempuan dalam rumah itu? Apakah dia baik-baik saja setelah bercerai dengan suaminya? Entahlah. Namun, sungguh, gerimis ini menghasut kenangan. Tiba-tiba aku ingin berada didekatnya kembali. Mengenang gerimis-gerimis silam. Lalu kubayangkan apa yang akan kami perbuat di ujung percakapan. Mungkin dia akan menutup pintu dan jendela lalu memadamkan semua lampu. Mungkin akan kumatikan ponsel agar tak ada yang mengganggu; teman, kenalan, atau Esi sekalipun. Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar